Tuah Negeri Pada Generasi

Written By Unknown on Kamis, 06 Januari 2011 | 11.54

DALAM hiruk-pikuk perselisihan inter dan
antargenerasi untuk membela berbagai kepentingan,
disadari atau tidak, para pendidik sering
menomorduakan persoalan alih generasi. Alih
generasi memang pasti terjadi, direncanakan atau
tidak. Tetapi tentu dengan kualitas yang berbeda. Jelas, yang dituju adalah alih generasi yang positif dan
berkesinambungan berdasarkan kerukunan generasi,
bukan yang dipaksakan dan penuh masalah karena
dilandasi oleh konflik generasi. Akan teta-pi, alih
generasi yang positif tidak dapat terwujud tanpa
usaha yang sesuai. Padahal kita tidak boleh gagal karena alih generasi berkaitan langsung dengan
eksistensi bangsa. Di sinilah para pendidik diimbau untuk berperan.
Dalam dua hal alih generasi kali ini harus mendapat
prioritas melebihi dari yang sudah-sudah. Pertama,
kita sedang berada dalam satu situasi pergolakan
nasional yang muskil, yakni karena situasi itu adalah
situasi konflik generasi. Kedua, kita berada di awal era kesejagatan yang merupakan masalah baru di
dalam sektor pendidikan; masalah, yang di dalam 25
tahun mendatang akan menjadi ujian berat bagi
ketahanan bangsa ini; apakah kita dapat tumbuh lebih
handal ataukah kita hanya menjadi bangsa marginal. Kedua situasi tersebut melibatkan generasi muda,
dan kedua-duanya sangat berpengaruh terhadap
kualitas bangsa. Pada tingkat nasional, seharusnya
generasi tua menyibukkan diri menyiapkan generasi
muda, memberikan yang terbaik kepada mereka
sebagai bekal di masa depan. Di lain pihak, generasi muda seharusnya banyak belajar dan mengambil
hikmah dari pengalaman, kearifan, bahkan kesalahan
yang telah dilakukan oleh generasi lama, untuk
dijadikan pelajaran mengelola masa depan.
Seharusnya kedua generasi bahu-membahu
menciptakan sejarah masa depan yang gemilang. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Mereka
bertikai. Pendidikan generasi muda akhirnya telantar. Pada tingkat global, generasi muda menghadapi
situasi yang lebih muskil. Dalam alih generasi kali ini,
generasi muda akan langsung dihadang oleh arus
kesejagatan dengan peraturan permainan yang
sampai sekarang belum lagi terjamah oleh sektor
pendidikan. Sampai hari ini, pendidikan masih terlalu terikat oleh belenggu masa lalu, sehingga
kemampuan untuk mengantar remaja dan generasi
muda ke masa depan, tidak tampak. Ketiadaan
persiapan yang adekuat menyebabkan generasi
muda kekurangan kemampuan untuk bersaing di
dunia luas yang hiperkompetitif. Menghadapi tantangan masa depan, para pendidik sendiri pun
sudah kehilangan pegangan. Apabila mereka sendiri,
di dalam menghadapi arus globalisasi, sekarang saja
sudah terasing, sejauh mana kita masih bisa berharap
bahwa mereka dapat turut membangun masa depan? Alih generasi melibatkan dua generasi, dan tidak satu
di antaranya yang dapat mengklaim sebagai
kekuatan penentu. Generasi tua tidak dapat terus
berjalan sendiri, mereka akan berlalu. Generasi muda
juga tidak dapat berjalan sendiri, mereka
membutuhkan masa lampau dan sekarang, untuk membangun masa depan. Karena itu, konflik generasi
selalu berakibat fatal terhadap kehidupan bangsa.
Padahal, alih generasilah yang mencerminkan
kesinambungan generasi. Lebih dari sekadar
kesinambungan, ia berkaitan langsung dengan
survival dan eksistensi bangsa. Adakah lagi peristiwa lain yang begitu langsung menentukan keadaan ini,
selain alih generasi? Kalau ini adalah hal yang begitu
penting, apakah yang telah kita rintis di dalam
pendidikan generasi? Sudahkah dirumuskan visi
kependidikan kita bersama, ke mana bangsa ini akan
pergi 20, 30, 50 tahun mendatang? Apakah strategi kita untuk memastikannya? Tidak jelas. Lalu, apa hak kita untuk berpretensi menyiapkan
mereka menghadapi hari depan yang gemah ripah
loh jinawi, kalau apa yang menyita kehidupan kita
sekarang adalah perjuangan melawan tirani
kekurangpedulian kita sendiri di masa lalu? Sebagai
pendidik, kita memang telah turut menulis sejarah sampai hari ini, tetapi bukan sejarah kegemilangan.
Bukan sejarah yang membuat anak cucu kita
berbangga menjadi bangsa Indonesia. Bukan sejarah
yang mengilhami mereka untuk membela negara ini.
Bukan sejarah yang memotivasi mereka untuk
bergairah melanjutkan penulisan sejarah. Walaupun begitu, generasi yang sudah telanjur belajar tidak
peduli-dengan pendidikan yang tepat guna-dapat
belajar bukan hanya membuang ketelanjuran
tersebut, tetapi sekaligus belajar membangun dan
menebalkan kepedulian berbangsa. Masalahnya
sekarang, di mana pendidikan yang tepat guna itu? *** PENDIDIKAN yang tepat guna, yang benar-benar tepat
guna, belum terwujud. Pendidikan yang lebih
mementingkan rutinitas, stabilitas, dan konformitas,
bukan pendidikan yang tepat guna. Pendidikan yang
berubah fungsi menjadi alat politik, dapat berguna
bagi kepentingan politik, tetapi masih sangat diragukan kegunaannya bagi kepentingan generasi
muda. Karenanya, pendidikan itu pun bukan
pendidikan tepat guna. Program yang bersistem dan
yang teratur, yang memudahkan para pendidik untuk
menerapkannya, belum dapat dikatakan pendidikan
yang tepat guna. Kegunaan pendidikan di mata pendidik tidak lantas menjadikan pendidikan tepat
guna. Selagi tidak berguna di mata anak didik,
pendidikan tetap tidak tepat dan tetap tidak berguna.
Ketepatgunaan sebuah pendidikan hanya dapat
ditentukan dari kepentingan anak didik. Karena
kepentingan anak didik adalah di masa depan, maka tidak ada pendidikan yang tepat guna apabila ia gagal
menghasilkan blueprint masa depan. Namun, sebaiknya sekarang kita belajar dari
pengalaman (baca: kesalahan) masa lalu, bahwa
belum cukup apabila kita mampu membuat blueprint
saja. Sudah berapa banyak perubahan atas nama
pembaruan, yang kita telah intervensikan di masa lalu
di dalam sektor pendidikan. Begitu banyak, sehingga sebenarnya bukanlah pendidikan kita tidak pernah
berubah, tetapi sudah terlalu banyak berubah. Kita
bergerak dari blueprint yang satu ke blueprint yang
lain, tanpa masa uji dan alasan yang jelas. Atau
pakailah istilah sekarang: pendidikan kita sudah over
reformed! Tetapi begitu pun, dampaknya belum lagi terasa, karena bukan hanya blueprint yang
menentukan. Seringkali memang desain perubahan
sudah salah sejak semula. Akan tetapi walaupun ada
yang betul, kelemahannya ialah karena blueprint
yang dihasilkan tidak didukung oleh budaya dan
kondisi yang kondusif. Ini berarti bahwa bersama dengan lahirnya blueprint pembaruan, perlu juga
diciptakan budaya kependidikan yang kompatibel,
dan kondisi lingkungan yang mendukung. Budaya apa yang kita miliki sekarang yang dapat
dianggap kompatibel dengan aspirasi pendidikan
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa? Apakah
ukuran kecerdasan kehidupan bangsa sama saja di
dalam budaya yang feodal dengan di dalam budaya
demokratis? Jelas tidak. Kalau begitu problematik pendidikan menjadi lebih berat untuk menanamkan
benih berbangsa demokratis di dalam persemaian
budaya feodal. Apakah kondisi keharmonian hidup
antargenerasi berakibat sama dengan kondisi
perpecahan generasi? Jelas tidak. Karena itu, semakin
sukar lagi tugas pendidikan untuk mendidikkan semangat persatuan dan kesatuan di dalam alam
perpecahan. Sektor pendidikan di dalam banyak hal
tidak berdaya menjinakkan, menetralkan, apalagi
melawan dampak kehidupan yang diwarnai dengan
berbagai manifestasi yang negatif, yang pada
dasarnya antipendidikan. Namun, kekuatan dampak kondisi yang tidak
mendidik itu, di dalam realitas seringkali seperti
menghilangkan dampak pendidikan, sehingga kita
dapat bertanya apakah memang sudah seharusnya
begitu. Kalau benar sudah seharusnya demikian,
maka bagaimanapun usaha para pendidik, mereka akan tetap fight the loosing battle; sudah kalah
sebelum berjuang. Kalau benar begitu, maka
sepanjang hayat, pendidikan tidak pernah berguna!
Ataukah fenomen ketidakberdayaan pendidikan
disebabkan karena para pendidik sendiri belum tiba
pada kesadaran, apalagi pada keyakinan, bahwa setiap usaha pendidikan dengan desain yang benar,
dengan budaya yang benar, dengan kondisi yang
benar, dengan pengelolaan yang benar, dan dengan
implementasi yang benar, melahirkan dampak yang
benar. Dampak yang kuat, mengalahkan dampak-
dampak negatif yang tidak diinginkan. Ini sebuah tantangan besar, dan sektor pendidikan harus
menghadapinya. *** ALIH generasi yang kali ini sedang terjadi berlangsung
di dalam kondisi yang tidak benar, yakni di dalam
kondisi tercabarnya persatuan dan kesatuan bangsa.
Di dalam keadaan demikian, maka justru sektor
pendidikanlah yang harus tampil ke depan dengan
desain yang kuat, untuk menjamin tetap tumbuhnya rasa kesatuan, rasa persatuan, tekad keindonesiaan,
di dalam dada setiap anggota generasi muda. Sebab
apabila tidak, dari mana lagi kita harapkan kekuatan
pembinaan yang positif; bahkan mungkin kita dapat
selanjutnya bertanya, apakah masih perlu kita
berbicara mengenai alih generasi. Alih generasi kali ini juga menghadapi kondisi lain,
yang belum pernah dihadapi di masa lalu, yakni
kondisi hidup kesejagatan yang ditandai oleh
persaingan terbuka antara bangsa-bangsa. Generasi
muda sekarang inilah yang akan beralih dari kondisi
nasional yang tidak mantap ke kondisi global yang hiperkompetitif. Sekali lagi, harapan eksistensi bangsa
kita gantungkan pada sektor pendidikan. Sampai di
mana kesiapan kita? Sektor mana lagi yang dapat memberdayakan
generasi muda sehingga mereka siap untuk
bertarung, dan siap untuk membawa bangsa ini
sebagai bangsa yang terhormat, dan bukannya
bangsa yang tersisihkan, kalau bukan sektor
pendidikan? Pemberdayaan tersebut, untuk dapat menjadi tepat guna, perlu memahami problematik
masa depan. Pemberdayaan tersebut bukan reaktif,
tetapi antisipatif. Akan tetapi, sejauh manakah desain
pendidikan kita sekarang adalah pendidikan masa
depan yang antisipatif dan yang kompetitif? Melihat
pada desain yang ada, kita belum dapat menyimpulkan bahwa pendidikan kita sudah siap
mengantar generasi muda sebaik-baiknya kepada
kehidupan yang menanti (mungkin menghadang)
mereka. Setelah lebih dari setengah abad, dari tahun ke tahun
kita hanya mampu menginventarisasi kegagalan
pendidikan. Tidak banyak orang yang suka
menerimanya dengan lapang dada, terutama yang
berada di dalam jajaran pengelolaan. Namun,
sungguh sukar menunjuk pada sebuah prestasi maha besar, maha signifikan, yang dapat dipandang
sebagai tonggak sejarah kebangkitan pendidikan di
negara ini. Kita terpaksa bertanya lagi; begitu
sukarkah mendesain pendidikan yang begitu
diperlukan oleh bangsa ini umumnya, generasi muda
khususnya? Begitu tipiskah kepekaan dan kemauan politik kita untuk membuktikan bahwa pendidikan
adalah tiang utama di dalam pencerdasan kehidupan
bangsa ini? Kalau bukan karena semua itu, apakah
biang keladinya? Melihat dari kecenderungan perjalanan pendidikan
nasional sejak kemerdekaan sampai hari ini, kondisi
kependidikan negara ini masih juga akan jalan
terseok-seok dari generasi demi generasi, mungkin
50 tahun lagi, mungkin lebih, kecuali apabila
sekarang, bukan besok, kita berani dan bertekad mengambil sebuah keputusan yang lebih mendasar;
mengadakan perombakan sektor pendidikan secara
menyeluruh, dan menjauhkan diri dari pola
perombakan parsial. Bangsa ini tidak dapat dibangun
melalui proyek-proyek semata-mata. Sudah terbukti
bahwa pada akhirnya yang dicapai hanya keindahan secara kosmetik. Jadi, kalau kita mempunyai
determinasi itu, dari manakah sekarang pembaruan
itu kita mulai? Pembaruan harus kita mulai dari diri
sendiri. Mungkin itu biang keladinya.

Oleh Winarno Surakhmad

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Komentar anda :