Demonstran dan Mahasiswa

Written By Unknown on Senin, 06 Desember 2010 | 01.09

Mahasiswa dan Demonstrasi
Oleh Zainurrahman
Para mahasiswa di negeri ini sangat doyan dengan
demonstrasi, seolah-olah kegiatan yang satu itu sudah
menjadi hobi mereka. Bagi sebagian besar mahasiswa,
demonstrasi merupakan kewajiban; bagi sebagian yang lain
malah kebutuhan dan hiburan. Tidak perlu kita sebut
mahasiswa siapa dan dari universitas yang mana, tetapi
jelasnya mahasiswa kita sudah identik dengan demonstrasi.
Dalam kesempatan ini, saya akan menyoroti pemahaman
mahasiswa terhadap kegiatan demonstrasi itu dari beberapa
sudut pandang. Uraian singkat ini diharapkan bisa membuka
wawasan kita (khususnya bila anda seorang mahasiswa)
mengenai apa dan bagaimana seharusnya demonstrasi itu.
Etimologi dan Terminologi Demonstrasi
Kata Demonstrasi berasal dari kata Demonstration yang
artinya “mempertunjukkan.” Penggunaan kata ini dalam
bahasa Inggris merujuk pada kegiatan pertunjukan secara
publik baik secara perorangan maupun secara kolektif,
sebagai suatu bukti atas suatu pernyataan verbal.
Demonstrasi adalah sebuah kegiatan “memepertunjukkan
bukti” atas janji atau pernyataan yang pernah dilontarkan
sebelum kegiatan demonstrasi tersebut. Merujuk pada arti
kata dan istilah ini, para demonstran wajib mengetahui “apa
yang akan mereka tunjukkan” dan “apa yang mereka
buktikan.” Katakanlah mereka menyatakan bahwa ada
pejabat yang korupsi, dan mereka menuntut pejabat
tersebut untuk bertanggung jawab; maka demonstrasi
digunakan bukan untuk menakut-nakuti, tetapi justru untuk
membuktikan bahwa pejabat tersebut adalah koruptor dan
untuk menujukkan bahwa yang bersangkutan harus
bertanggung jawab. Kata demonstrasi yang diterjemahkan
sebagai “unjuk rasa” menurut saya tidak relevan, karena
unjuk rasa lebih relevan kepada rasa tidak puas terhadap
sesuatu atau rasa senang terhadap sesuatu. Sedangkan kata
Demonstrasi bukan hanya sekedar rasa tidak puas,
mahasiswa demonstran bukan hanya tidak puas, tetapi
memiliki sejumlah alasan logis dan bukti empirik yang
ditunjukkan. Kerap kali ditemukan bahwa mahasiswa
demonstran tidak berbeda dengan “teroris” maaf saya harus
mengatakan demikian. Mereka hanya menunjukkan bahwa
mereka ingin seseorang harus bertanggung jawab atas
pernyataannya; tetapi sikap dan aksi yang mereka lakukan
justru menebar teror bagi “yang tidak terkait.” Yang ingin
saya sampaikan adalah para mahasiswa demonstran harus
benar-benar memahami apa yang dimaksud dengan
demonstrasi, yang memang tidak perlu anarkis. Kebanyakan
mahasiswa yang ikut demonstran hanya ikut-ikutan saja,
dan melakukan hal-hal yang mereka suka seperti melempar,
memukul, menjarah dan sebagainya. Alhasil, demonstrasi
hanya akan menjadi media bagi sekelompok oknum yang
tidak bertanggung jawab dan merusak fungsi sebenarnya
dari demonstrasi tersebut.
Jati diri mahasiswa
Mahasiswa merupakan social agent dan agent of change.
Mahasiswa merupakan punggung masyarakat dan pelopor
perubahan. Untuk menjadi agent of change, mahasiswa
tidak perlu bersikap revolusioner. Sejujurnya, jati diri
mahasiswa bangsa ini sangat didominasi oleh bacaan-
bacaan mereka. Para mahasiswa, dalam pencarian jati diri
mereka, telah berhasil mengkonsumsi sekian banyak bacaan
radikal yang sebut saja Marx, Guevara, hingga ada yang fans
sama Lenin dan Hitler. Mereka berasumsi bahwa mereka
harus menjadi revolusioner guna mendapatkan jati diri social
agent of change. Sayang sekali, bukan itu yang
sesungguhnya harus terjadi. Mahasiswa harus bisa
membedakan mana revolusioner dan mana pemikir radikal.
Alangkah lucunya, ketika diri sendiri saja tidak dapat dirobah,
dari kurang baik menjadi lebih baik, kemudian berharap
dengan membaca satu dua buku dan menjadi seorang
revolusioner. yang dimaksud dengan social agent of change
itu adalah mahasiswa yang senantiasa membaur dengan
masyarakat, memberikan bimbingan intelektual dan
mengaplikasikan pengetahuan demi pencerdasan bangsa.
Berhubungan dengan “birokrat kotor” tidak dapat disangkal
bahwa mahasiswa harus turun tangan. Bukan hanya
mahasiswa, masyarakat juga turun tangan untuk masalah
ini. Akan tetapi ingat bahwa banyak oknum yang justru
menggunakan demonstrasi sebagai media untuk
memuaskan hasrat ugal-ugalan mereka. Jati diri mahasiswa
yang sebenarnya adalah yang terpelajar, rapi (bukan tampil
urak-urakan), artistik, intelek, berpengalaman, dan
bertanggung jawab; jika ini sudah terpenuhi, barulah
qualified untuk menjadi social agent of change.
Tridarma Perguruan Tinggi
Para mahasiswa yang suka demonstrasi seringkali berdalih
bahwa apa yang mereka lakukan, semata-mata untuk
melaksanakan tugas terakhir mahasiswa yang tercatat dalam
perguruan tinggi. Ini merupakan alasan yang lucu. Jika kita
lihat dengan saksama, maka tridarma perguruan tinggi
merupakan suatu kesatuan utuh:
1. Pendidikan dan Pengajaran
2. Penelitian
3. Pengabdian pada Masyarakat
Poin satu menunjukkan bahwa tugas mahasiswa adalah
untuk belajar, mendapatkan pendidikan karena sudah mahal-
mahal bayar SPP. Setelah itu, hasil dari pendidikan itu
digunakan untuk memecahkan peroalan yang dihadapi
bersama, yaitu dalam bentuk penelitian (poin kedua). Dan
hasil dari penelitian yang dilajukan oleh mahasiswa harus
disosialisasikan kepada masyarakat demi perkembangan dan
perbaikan lebih jauh (poin ketiga). Melihat kesinambungan
antara tiga poin diatas, maka demonstrasi bukanlah bagian
dari tridarma perguruan tinggi, apabila demonstrasi
dilakukan untuk kepentingan kelompok. Seringkali, ada
kepentingan yang melatarbelakangi demonstrasi, dimana
mahasiswa sudah ditunggangi menuju kepentingan
tersebut.
Mempertanyakan Kebijakan Publik
Lihatlah yang dilaporkan di layar televisi, para mahasiswa
merusak komputer-komputer kantor, padahal apa yang
mereka rusakkan itu penuh dengan database yang sangat
penting untuk pekerjaan orang. Lihatlah beberapa pegawai
yang mobil dinas mereka dirusak, dibakar, sementara
orangnya ada dalam mobil tersebut dan orang itu sama
sekali tidak tahu menahu persoalan. Lihat juga para
mahasiswa yang melempar polisi, melempar satpam,
hansip, dan akhirnya masuk rumah sakit dan kepalanya
dijahit 54 jahitan. Lihat juga kaca-kaca dilempar, kursi dan
meja dipatah-patahkan, dan sebagainya. Yang dipertanyakan
disini adalah “apa yang ingin ditunjukkan?” Jika memang
demonstrasi itu dilakukan untuk mempertanyakan kebijakan
publik, maka apakah harus benda-benda mati yang tidak
tahu menahu dengan pesoalan itu harus mendapatkan
imbasnya? Apakah para mahasiswa yang suka bergadang
itu tahu etapa berat pekerjaan mengentri database
dikomputer yang mereka rusak itu? Aneh, sangat aneh…
Apa yang harus dilakukan
Demonstrasi itu memang dibutuhkan ketika upaya diplomasi
tidak dihiraukan. Akan tetapi harus teliti dan selektif dalam
berdemo, tidak harus merusak dan tidak harus memukuli
orang. Sebenarnya mudah saja jika ingin suatu kebijakan
dirobah oleh pemerintah, atau ingin ada orang yang
bertanggungjawab dengan perbuatannya; tinggal tunjukan
saja bukti yang ada dan minta yang bersangkutan untuk
mengadakan pembuktian terbalik. Kenapa para mahasiswa
tidak join dengan polisi? pengadilan? mahkamah agung?
DPR? MPR? kan tidak semua diantara mereka itu “kotor.”
Masih banyak abang-abang kita yang bisa diharapkan disana,
sehingga tidak perlu melakukan apa-apa yang tidak perlu
dilakukan. Toh jika kita menuntut yang tidak
bertanggungjawab untuk bertanggungjawab, sedangkan
kita sendiri tidak bertanggungjawab, kan lucu….
Demonstrasi bukan anarki, demonstran bukan teroris,
mahasiswa bukan kuda tunggangan, dan hati-hati
provokator yang tidak bertanggung jawab…

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Komentar anda :