Peranan Mahasiswa Dalam Pilkada

Written By Unknown on Senin, 13 Desember 2010 | 02.49

Oleh Andika Mongilala, SE. MM
Berbicara tentang peranan mahasiswa dalam proses
perubahan masyarakat menuju tatanan demokratis,
maka benak kita akan melayang pada peristiwa di
tahun 1966, 1978, dan 1998, dimana pada waktu itu
peranan mahasiswa sebagai sebuah gerakan moral, menunjukkan eksistensinya. Aktifitas dan gerakan
mahasiswa kala itu memiliki kesamaan isu dan musuh,
yaitu rezim yang otoriter dan eksploitatif. Kondisi
tersebut menjadikan mahasiswa sebagai sebuah
gerakan, mampu muncul menjadi kekuatan besar,
sehingga mengutip Arief Budiman, bahwa cuma ada satu kata untuk menyebut gerakan mahasiswa waktu
itu (1998), yaitu fantastis!
Pertanyaannya kemudian, bagaimana peranan
mahasiswa dalam agenda suksesi, baik di tingkat
daerah maupun nasional? Dalam konteks peranan
mahasiswa, jika dibandingkan dengan gerakan- gerakan yang bersifat spektakuler, adalah tetap sama,
yakni menjaga/mengawal proses demokratisasi,
hanya saja mungkin caranya yang berbeda. Kondisi ini
disebabkan agenda suksesi kepemimpinan pemerintah
seperti Pemilu, Pilpres dan Pilkada, mahasiswa tidak
berhadapan dengan rezim yang otoriter atau yang kesewenangan-wenang. Mahasiswa yang dihadapkan
pada situasi ini, relatif tidak memiliki “musuh” bersama. Oleh karena itu mahasiswa memiliki peran
tersendiri yang berbeda ketika mahasiswa
berhadapan dengan penguasa.
Ada beberapa peran yang dapat dijalankan oleh
mahasiswa dalam proses Pilkada langsung di Sumbar,
baik itu sebagai individu maupun organisasi. Peran tersebut adalah: 1. Mengawal Proses Pelaksanaan Pilkada Langsung
Mahasiswa mempunyai peran strategis dalam
pengawalan proses pelaksanaan Pilkada bersama
aktivis-aktivis masyarakat sipil lainnya, seperti: LSM,
Akademisi, Pers, dan Ormas/ OKP. Peran ini diambil,
karena mahasiswa merupakan kekuatan masyarakat sipil yang bersifat independen, objektif, dan
berlandaskan pada aspek moralitas. Oleh karena itu,
pengawalan terhadap proses Pilkada langsung
merupakan peran yang strategis untuk dijalankan oleh
mahasiswa.
Peran pengawalan terhadap proses pilkada dapat dimainkan oleh mahasiswa sebagai individu maupun
oelh lembaga-lembaga mahasiswa, seperti: lembaga
intern kampus, lembaga ekstern kampus, dan
organisasi mahasiswa kedaerahan. Adapun jalan yang
bisa sekiranya ditempuh oleh mahasiswa dan
organisasi kemahasiswaan dalam melakukan peranannya dalam mengawal proses pilkada, antara
lain: diskusi, seminar, opini publik, artikel/tulisan di
media massa, penyataan sikap, dan demonstrasi. 2. Pendidikan Politik Kepada Masyarakat
Pendidikan politik pada masyarakat dilakukan sebagai
wujud tanggung jawab mahasiswa kepada
masyarakat. Adapun wujud dari peran ini adalah
adanya agenda mahasiswa seperti: bedah visi dan misi
calon kepala daerah, melakukan kajian terhadap kapasitas dan integritas calon kepala daerah,
membuat kriteria calon kepala daerah versi
mahasiswa atau membuat nota kesepakatan dalam
bentuk kontrak politik kepada calon kepala daerah.
Target dari agenda-agenda ini adalah, masyarakat
dapat menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang rasional, bukan
berdasarkan kharismatik semata. Dalam pelaksanaan
peran ini, etika yang harus dibangun oleh setiap
organisasi mahasiswa adalah sikap objektifitas dan
akuntabilitas. Objektifitas yang dimaksud ialah
pembedahan visi/misi, pembuatan kriteria calon kepala daerah,
dilakukan dengan tanpa disusupi oleh kepentingan
politik praktis. Hal ini penting, sebab mahasiswa
sebagai sebuah gerakan moral, mesti bersikap netral
dan berpihak kepada masyarakat luas.
Sedangkan akuntabilitas, adalah penilaian yang diberikan oleh sebuah organisasi mahasiswa, yang
harus bisa dipertanggungjawabkan kesahihannya,
artinya, bila mahasiswa menilai seorang kepala
daerah yang terindikasi melakukan tindak
penyelewengan kekuasaan maka data dan fakta yang
disampaikan harus dapat dibuktikan, bukan sekedar isu belaka, sehingga kepercayaan masyarakat tetap
besar terhadap gerakan mahasiswa. 3. Masuk sebagai Tim Pemenangan Calon Kepala
Daerah
Keterlibatan mahasiswa dalam tim pemenangan calon
kepala daerah, bukanlah sebuah hal yang baru dalam
dinamika kemahasiswaan. Contoh yang paling dekat
adalah Pada Pemilu dan Pilpres 2004, dimana banyak ditemui aktivis mahasiswa yang menjadi tim sukses
dari calon anggota DPR/DPRD, DPD maupun calon
presiden. Ada beberapa pertimbangan dasar ketika
mahasiswa mengambil peran ini :
a) Mahasiswa, sebagai individu masyarakat memiliki
hak untuk berpartisipasi dalam setiap proses politik, baik saat pencoblosan maupun dalam menentukan
sikap untuk mendukung pasangan calon kepala daerah
tertentu.
b) Ikut dalam tim pemenangan calon kepala daerah
merupakan political process bagi mahasiswa itu
sendiri. Political proses ini adalah bentuk pengaktualisasian kemampuan diri dari mahasiswa itu
sendiri sekaligus wadah pembelajaran dalam ruang
lingkup politik praktis.
Munculnya mahasiswa dalam arena tim pemenangan
calon kepala daerah menimbulkan kekhawatiran dari
berbagai pihak bahkan dari kalangan mahasiswa itu sendiri. Kekhawatiran tersebut adalah, antara lain:
Pertama, mahasiswa akan mudah diperalat dan
ditunggangi oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Kedua, saling dukung mendukung calon kepala daerah
akan memperlemah gerakan mahasiswa. Karena,
kemungkinan akan terjadi suatu keadaan di mana sekelompok mahasiswa menyatakan dukungannya
kepada calon si A, sementara kelompok mahasiswa
yang lain menyatakan mendukung si B, si C dan
seterusnya. Hal ini tentu akan berakibat memperlemah
persatuan di kalangan mahasiswa itu sendiri,
mahasiswa akan terkotak-kotak dan dengan sendirinya mahasiswa akan mudah untuk diadu
domba dan dipecah belah.
Beberapa point kekhawatiran diatas, besar
peluangnya untuk terjadi. Namun keikutsertaan
mahasiswa dalam tim pemenangan calon kepala
daerah, tetap memiliki aspek positif bagi mahasiswa tersebut. Oleh karena itu perlu dirumuskan etika
bersama sebagai panduan normatif, menyikapi adanya
ambivalensi tersebut, yaitu:
1. Hendaknya kapasitas mahasiswa yang ikut dalam
tim pemenangan itu, adalah sebagai individu, bukan
mengatasnamakan organisasi kemahasiswaan tertentu.
2. Individu mahasiswa yang ikut dalam tim
pemenangan, hendaknya bukanlah mahasiswa yang
dalam struktur organisasinya berperan sebagai
decision maker, seperti: ketua umum, ketua bidang/
divisi/departemen. Hal ini untuk menjaga netralitas organisasi mahasiswa tersebut.
3. Individu-individu mahasiswa yang tergabung dalam
tim pemenangan calon kepala daerah hendaknya tidak
terjebak kedalam praktek-praktek politik yang tidak
bermoral, seperti: money politic, politik dagang sapi.

Sumber : kompasiana

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Komentar anda :